Jumat, 05 Maret 2010

G30S/ PKI TAHUN 1926, 1948, 1965

Lahirnya Partai Komunis Indonesia
Sejauh penelitian yang ada, nama Sneevliet adalah pembawa ideologi komunisme dari Nederland dan disebarkan di Indonesia. Tidak hanya kepada orang Belanda di Indonesia, tapi juga orang Indonesia.
Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet. Lahir di Rotterdam, 13 Mei 1883. Sejak tahun 1902 ia sudah aktif dalam kehidupan partai politik. Waktu itu ia tergabung dalam Sociaal Democratische Arbeid Partij (SDAP) di Nederland sampai 1909. Ketika keluar tahun 1909, Sneevliet aktif di dunia perdagangan. Di situlah ia memasuki wilayah Indonesia.
Beberapa tokoh Belanda yang juga aktif membantu Sneevliet adalah Bergsma, Adolf Baars, Van Burink, Brandsteder dan HW Dekker. Di kalangan pemuda Indonesia tersebut nama-nama Semaun, Alimin dan Darsono. Juga buruh buruh kereta api dan trem yang bernaung dibawah organisasi Vereniging van Spoor Tramweg Personal (VTSP).
Semula Semaun, Darsono dan Alimin adalah anak buah HOS Tjokroaminoto. Mereka terdaftar sebagai anggota Central Sarekat Islam (CSI) di Surabaya sejak 1915. Setelah cukup dekat dengan Sneevliet, ketiganya memutuskan pindah ke Semarang. Tempat di mana Sneevliet mendirikan ISDV. Di Semarang, mereka menjadi pimpinan SI lokal. Karena sikap dan prinsip komunisme mereka yang semakin radikal, hubungan dengan anggota SI lainnya mulai renggang. Bahkan saat kongres ketiga di Bandung, Semaun dengan lantang dan terang-terangan menentang agama sebagai dasar pergerakan SI. Akibatnya SI pecah menjadi SI Putih yang dipimpin HOS Tjokroaminoto, H.Agus Salim dan Abdul Muis. Di sisi lain ada SI Merah yang dikepalai Semaun dan teman temannya.
Sneevliet dan teman-teman Belandanya memperluas pengaruh mereka ke kalangan yang memiliki posisi penting. Militer yang waktu itu personilnya sekitar 25.000 termasuk yang diincar Sneevliet. Yang 'digarap' Sneevliet adalah serdadu-serdadu angkatan darat. Angkatan laut digarap Brandsterder. Semaun, Darsono dan Alimin ditugaskan mempropaganda ke kalangan rakyat yang menjadi anggota SI.
Pemerintah Hindia Belanda yang mulai mengangkap gelagat tidak baik ISDV dengan propaganda komunisnya, menangkap Sneevliet dan mengusirnya dari Indonesia. Adapun ISDV yang sudah kehilangan pemimpin-pemimpin akibat diusir dari Indonesia, juga mulai dijauhi masyarakat karena sikap mereka yang seringkali radikal dan membuat jengkel masyarakat. Maka dari itu Semaun mengganti ISDV menjadi Partai Komunis Hindia pada 23 Mei 1920. Selain menyusup ke kalangan masyarakat, PKI juga terang terangan menuliskan agitasinya lewat media massa.
Ketika para pendiri PKI seperti Darsono, Semaun dan Alimin sudah 'hengkang' ke luar negeri, pimpinan pimpinan PKI pusat maupun daerah menjadi lebih radikal dan melakukan pemberontakan di berbagai tempat di Jawa.

Pemberontakan 1926
Saat itu yang menjadi Gubernur Jendral adalah Van Limburg Stirum. Yang menjadi ketua Serikat Islam Merah sekaligus PKI bernama: Muso. Dalam propaganda, PKI di bawah Muso selalu aktif mendatangi rumah-rumah penduduk. Lalu pemilik rumah disuruh membeli karcis merah seharga setalen. Ada juga yang harganya satu setengah gulden. Mereka yang telah membeli karcis ditunjuk untuk melakukan huru-hara tanggal 12 dan 13 November 1926. Penjara Glodok dan Salemba termasuk yang diserang. Juga rumah Gubernur Jendral Van Limburg. Pada hari yang sama, di tempat lain, seperti Banten, terjadi hal sama.. Di sana malah berlangsung sampai 5 Desember. Di Bandung sampai 18 November, Kediri sampai 15 Desember. Rencananya akan terjadi juga pemberontakan di Banyumas, Pekalongan dan Kedu. Tapi entah kenapa gagal.
Pemerintah Hindia Belanda langsung mengambil tindakan tegas. Tanggal 1 Desember 1926, sebanyak 106 pemegang karcis merah dari Tanah Abang dan Karet digiring ke kantor Kabupaten di daerah Molenvliet (Gambir sekarang, red). Muso sendiri lari ke Rusia. Sebelumnya ia berada di Singapura bersama Alimin.
Orang-orang PKI melakukan serangkaian perusakan. Kantor telepon dan telegraf diserang. Rel kereta api di Banten dibongkar. Pemberontakan meluas juga sampai ke Padang dan Padang Panjang. Dari kalangan militer yang terlibat tertangkaplah Wuntu, seorang serdadu Menado. Saat itu ia dan lima orang rekannya hendak merampas sebuah bengkel di Bandung. Gembong-gembong PKI yang sudah ditangkap terlebih dahulu sebelum pemberontakan meletus adalah Darsono, Alirahman dan Marjohan. Sedangkan Alimin, pendiri PKI, sudah lebih awal ke Rusia.
Adapun Semaun yang lari dari Indonesia sempat mampir ke Leiden, Belanda. Di sana ia ikut dalam 'Perhimpunan Indonesia'-nya Mohammad Hatta dan Ahmad Subardjo. Karenanya pemerintah Belanda sempat menghubung-hubungkan peristiwa yang terjadi di Jawa dengan 'Perhimpunan Indonesia'. Bahkan Mohammad Hatta, Nazir Pamuntjak, Ahmad Subardjo dan kawan-kawannya sempat ditangkap dan diinterogasi. Tapi karena tidak terbukti ikut dalam gerakan komunis, mereka dilepas kembali.
Mengenai pemberontakan PKI tahun 1926 ini, ada versi lain yang ditulis oleh Bung Hatta. Dalam memoarnya ia menulis rencana pemberontakan itu sempat diperdebatkan di kalangan pengurus PKI. Semuanya setuju ada pemberontakan, kecuali Tan Malaka. Akhirnya, diutuslah Alimin dan Muso untuk meminta pendapat ke pihak Moskow. Bukannya mendapat persetujuan, mereka malah dimaki Stalin. "Dasar kamu orang gila. Cepat pulang ke Indonesia dan batalkan rencana pemberontakan itu." Belum sampai ke-dua utusan tadi di Indonesia, pemberontakan sudah meletus.
Setelah kegagalan PKI tahun 1926, Semaun sempat bertemu dengan Hatta di Deen Haag. Akhirnya kedua tokoh yang berbeda prinsip ini menyetujui konvesi 4 pasal. Belakangan konvensi itu malah merugikan kedua belah pihak. Bung Hatta ditangkap dengan tuduhan mendirikan organisasi terlarang. Tapi melalui proses peradilan, Bung Hatta dilepaskan. Sedangkan bagi Semaun, konvensi ini ternyata tidak disetujui Stalin. Semaun malah dimusuhi dan memperoleh hukuman dari Stalin. Semaun mungkin lupa, dengan menandatangani konvensi ini berarti ia menempatkan gerakan komunis berada di bawah gerakan nasionalis. Ia diperintahkan untuk membatalkan konvensi itu dihadapan pers internasional. Ia melakukan hal tersebut. Setelah itu ia dibuang ke Semenanjung Krim.

Pemberontakan 1948
Pada Februari 1948 PKI dan unsur-unsur kiri dari Partai Sosialis Indonesia membentuk sebuah front bersama, yaitu Front Demokratis Rakjat. Front ini tidak bertahan lama, namun unsur-unsur kiri Psi kemudian bergabung dengan PKI. Pada saat ini milisi-milisi Pesindo berada di bawah kontrol PKI.
Pada 11 Agustus 1948 Musso kembali ke Jakarta setelah mengembara selama 12 tahun di Uni Soviet tanpa pemberitahuan dan penjelasan yang kuat. Politbiro PKI dibentuk kembali, dengan pemimpinnya antara lain Dipa Nusantara Aidit, M.H. Lukman dan Njoto.
Setelah penandatanganan Perjanjian Renville (1948), banyak satuan-satuan bersenjata republik yang kembali dari daerah-daerah konflik. Hal ini memberikan rasa percaya diri di kalangan kelompok sayap kanan Indonesia bahwa mereka akan mampu menandingi PKI secara militer. Satuan-satuan gerilya dan milisi yang berada di bawah pengaruh PKI diperintahkan untuk membubarkan diri. Di Madiun, sekelompok militer yang dipengaruhi PKI yang menolak perintah perlucutan senjata tersebut dibunuh pada bulan September tahun yang sama. Pembunuhan ini menimbulkan pemberontakan bersenjata. Hal ini menimbulkan alasan untuk menekan PKI. Sumber-sumber militer menyatakan bahwa PKI telah memproklamasikan pembentukan “Republik Soviet Indonesia” pada 18 September 1948 dengan Musso sebagai presidennya dan Amir Sjarifuddin sebagai perdana menterinya. Pada saat yang sama PKI menyatakan menolak pemberontakan itu dan menyerukan agar masyarakat tetap tenang.
Pemberontakan ini ditindas oleh pasukan-pasukan republik, dan PKI kembali mengalami masa penindasan. Pada 30 September Madiun berhasil dikuasai oleh pasukan-pasukan Republik dari Divisi Siliwangi. Beribu-ribu kader partai dibunuh dan 36.000 orang dipenjarakan. Di antara mereka yang dibunuh termasuk Musso yang dibunuh pada 31 Oktober dengan alasan bahwa ia berusaha melarikan diri dari penjara. Amir Sjarifuddin, tokoh Partai Sosialis Indonesia, pun dibunuh pada peristiwa berdarah ini. Aidit dan Lukman mengungsi ke Republik Rakyat Cina. Namun PKI tidak dilarang dan terus berfungsi. Pada 1949 partai ini mulai dibangun kembali. Walau begitu, ada sejarawan yang mengatakan bahwa kasus tersebut adalah murni kesalahpahaman di dalam tubuh TNI saat itu.

Pemberontakan 1965
Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah kejadian yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 di mana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut sebagai usaha kudeta yang dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia. PKI merupakan partai Stalinis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Sovyet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem “Demokrasi Terpimpin”. PKI menyambut “Demokrasi Terpimpin” Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era “Demokrasi Terpimpin”, kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
 Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
 Mayjen TNI R. Suprapto (Deputi II bidang Administrasi Menteri/Panglima AD)
 Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III bidang Perencanaan Menteri/Panglima AD)
 Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I bidang Intelijen Menteri/Panglima AD)
 Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV bidang Logistik Menteri/Panglima AD)
 Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
 Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi target utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
 Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
 Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)
 Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas)
 Letkol Sugiono (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas)
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

1 komentar:

  1. ya teruslah menulis tentang sejarah perjuangan rakyat indonesia tapi bebaskan dirimu dari kukungan setereotip negatif perjuangan rakyat indonesia dengan reverensi sejarah yang lebih banyak. sebagai awal, sesuai dengan apa yang di cita-citakan yaitu "membahagiakan orang banyak" maka tulisan ini adalah awal yang baik untuk memahami dan akirinya berpendapat tentang sejarah perjuangan "rakyat indonesia" di kalangan masarakat dan mungkin ada yang perlu di ingat yaitu pentingnya "adil mulai dari sejak dalam fikiran" dan "cara-cara yang tepat dan ilmu yang mendalam" untuk mencapai cita-cita "memebahagiakan orang banyak(rakyat)".

    BalasHapus