Rabu, 10 Maret 2010

Dayak Deyah

Kata “Deyah” mempunyai arti “tidak”, maksudnysa tidak mau dijajah atau tidak mau diremehkan. Mereka tetap teguh menyatakan dirinya sebagai suku Dayak. Masyarakat Dayak Deyah ini memiliki kepercayaan tidak jauh berbeda dengan dayak-dayak pada umumnya yaitu Hindu Kaharingan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa dusun Deyah (Dun). Suku Dayak sendiri memiliki kelompok etnis terdekat yaitu: suku Dayak (Maanyan, Ngaju, Lawangan) dan Banjar. Suku Dayak Deyah ini mendiami Gunung Riut, di Desa Pangelak kecamatan Upau, Muara Uya dan Haruai, kabupaten Tabalong yang terletak di bagian Utara Kalimantan Selatan.
Suku Dayak Deyah yang terdapat di Kabupaten Tabalong ini terbagi menjadi dua wilayah adat setingkat kecamatan yaitu: Wilayah Adat Kampung Sepuluh, meliputi kecamatan Upau dan Haruai. Wilayah Adat Muara Uya, termasuk di dalamnya minoritas suku Lawangan di desa Binjai, tetapi kepala adat diambil dari Dusun Deyah yang mayoritas di kecamatan tersebut.
Adat Kampung Sepuluh adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut aturan adat yang mengikat di sepuluh kampong yang terdapat pada dua kecamatan di kabupaten Tabalong yaitu kecamatan Haruai dan kecamatan Upau. Kesepuluh kampong tersebut merupakan satu kesatuan wilayah adat Dayak dari suku Deyah yang di pimpin oleh seorang Kepala Adat Kampung Sepuluh. Wilayah kesatuan adat tersebut meliputi desa-desa: Kambitin Raya, Dambung Raya, Kaung, Pangelak, Dambung Suring, Sungai Rumbia, Kinarum, Saradang, Kembang Kuning, Nawin.
Konsep Perkawinan Bagi Suku Dayak
Ritus perkawinan Adat Dayak Deyah bermula dari tradisi lisan yang berakar dari religi warga setempat yakni agama Kaharingan. Bagi warga setempat, saat memasuki usia dewasa, anak jejaka dan dara perawan dianggap sudah siap untuk berumah tangga.
A. Nyantanei / Sepihiriki
Yang dimaksud dengan “Nyantanei/Sepihirik ” adalah prosesi dimana pihak laki-laki datang ke rumah si perempuan untuk melakukan penjajakan. Di sini pihak keluarga laki-laki menanyakan kepada pihak keluarga perempuan apakah si perempuan masih bebas, dalam artian belum terikat dengan orang lain.
Pada masa sekarang pelaksanaan tersebut lebih merupakan formalitas saja karena pada umumnya hubungan pergaulan kedua muda-mudi tersebut telah memperoleh kesesuaian dan keluarga masing-masing. Kedua belah pihak keluarga sebenarnya sudah merestui hubungan dekat antara keduanya. Walaupun demikian, prosesi ini tetap dilaksanakan sampai sekarang.
Biasanya diawali dengan cara orang tua dari pihak laki-laki datang kepada orang tua pihak perempuan untuk menyampaikan maksud dan tujuan mereka datang ke rumah si perempuan yaitu dengan maksud untuk melamar si perempuan atau dalam bahasa Deyahnya di sebut dengan Nyantanei/sepihirik.
Dalam acara lamaran itu biasanya orang tua dari pihak laki-laki tidak secara langsung menyampaikan maksud dan tujuan mereka datang ke rumah orang tua perempuan. Mereka biasanya menggunakan bahasa kiasan atau singgungan terlebih dahulu, misalnya seperti berikut ini: “ Serunei kisah ni nyantanei/sepihirik, amun enak ndulu parei memuai wani, enak ekom klewa kain sepihirik anak kom wasantenei kain”. Artinya : Bukannya apa, kami datang kemari bermaksud baik, menanam padi, memuai madu. Kami datang ingin meminang anak kalian untuk anak kami.
Karena kedua belah pihak keluarga dari awal sudah merestui maka pihak keluarga perempuan menerima lamaran dari pihak keluarga laki-laki. “ Kain trimei pengunrou kom pihak tanjak si upo”. Yang artinya : Kami terima lamarannya dari anak laki-laki bapak dan ibu kepada anak kami.
Setelah keluarga pihak laki-laki memperoleh jawaban bahwa Nyantanei tersebut diterima, maka mulailah kedua belah pihak melakukan perundingan tentang rencana selanjutnya. Di sini pihak dari keluarga perempuan mengajukan permintaan sebagai syarat kepada pihak keluarga laki-laki. Permintaan itu sesuai dengan adat yang berlaku seperti, kain bahalai, ringgit (uang), atau guci. Benda-benda yang menjadi syarat tersebut merupakan symbol adat yang berlaku disaat prosesi lamaran.
v Kain Bahalai (kain panjang): Sebagai symbol untuk ikatan rumah tangga (pengikat rumah tangga).
v Ringgit/uang (pentali) : Merupakan symbol sebagai pengganti harga diri si perempuan.
v Guci/cupu : Sebagai symbol untuk kekokohan rumah tangga nantinya.
B. Pananali
Dalam konteks Adat Istiadat tentang proses perkawinan menurut Adat Suku Dayak Deyah “Acara Pananali” berarti “Acara Pertunangan”.
Pada hari yang telah disepakati, keluarga dan kerabat pihak laki-laki beserta calon mempelai laki-laki datang kerumah keluarga pihak perempuan, sebaliknya keluarga pihak perempuan telah siap menerima kedatangan rombongan keluarga pihak laki-laki. Biasanya diadakan pesta sederhana dengan memotong ayam 3-5 ekor. Biaya untuk pesta pananali ini sepenuhnya ditanggung oleh keluarga pihak perempuan.
Pada acara Pananali ini, kedua belah pihak keluarga juga membicarakan masalah perkawinan. Biasanya 40 hari setelah prosesi lamaran dan tunangan, dilaksanakanlah perkawinan. Namun, 2 minggu sebelum prosesi perkawinan, diadakan acara “Mangayu” yang di laksanakan oleh pihak perempuan. Dalam acara ini, pihak keluarga perempuan bergotong-royong memotong kayu-kayu besar yang digunakan untuk memasak pada acara perkawinan nanti.
Pada saat para laki-laki “Mangayu”, para perempuan memasak makanan untuk pesta kecil yang akan diadakan setelah “Mangayu” selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar